I. Judul : Identifikasi nematoda usus pada
sampel tinja (Metode sedimentasi)
II. Tanggal : 24
Mei 2016
III. Tujuan : Mengidentifikasi keberadaan telur cacing
dalam sampel tinja
IV. Prinsip pemeriksaan
: Sampel diendapkan melalui proses sentrifugasi
kemudian
di periksa di bawah mikroskop dengan pembesaran
10 x 10
V. Landasan Teori
Pemeriksaan feces pada dasrnya
dibagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan secara kualitatif dan pemeriksaan secara
kuantitatif. Pemeriksaan feces secara kualitatif, yaitu pemeriksaan yang
didasarkan pada ditemukkan telur pada masing-masing metode pemeriksaan tanpa
dihitung jumlahnya. Pemeriksaan feces secara kuantitatif yaitu pemeriksaan
feces yang didasarkan pada penemuan telur pada tiap gram
feces.(Gandahusada.dkk,2000)
Identifikasi
parasit tergantung dari persiapan bahan yang baik untuk memeriksa dengan
mikroskop, baik dalam keadaan hidup maupun sebagai sediaan yang telah dipulas.
Hal yang menguntungkan adalah untuk mengetahui kira-kira ukuran dari
bermacam-macam parasit tetapi perbedaan individual tidak memungkinkan
membedakan spesies hanya dengan melihat besarnya. Tinja sebagai bahan pemeriksa
harus dikumpulkan didalam suatu tempat yang bersih dan kering bebas dari urine.
Identifikasi terhadap kebanyakan telur cacing dapat dilakukan dalam beberapa
hari setelah tinja dikeluarkan. (Kurt, 1999)
Pemeriksaan feses di
maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang
infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat
infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya
(Gandahusada.dkk, 2000).
Penularan penyakit parasit disebabkan oleh tiga
faktor yaitu sumber infeksi, cara penularan dan adanya hospes yang ditulari.
Efek gabungan dari faktor ini menentukan penyebaran dan menetapnya parasit pada
waktu dan tempat tertentu. Penyakit yang disebabkan oleh parasit dapat bersifat
menahun disertai dengan sedikit atau tanpa gejala. (Noble, 1961).
Identifikasi parasit yang tepat memerlukan
pengalaman dalam membedakan sifat sebagai spesies, parasit, kista, telur,
larva, dan juga memerlukan pengetahuan tentang berbagai bentuk pseudoparasit
dan artefak yang mungkin dikira suatu parasit. Identifikasi parasit juga
bergantung pada persiapan bahan yang baik untuk pemeriksaan baik dalam keadaan
hidup maupun sediaan yang telah di pulas. Bahan yang akan di periksa tergantung
dari jenis parasitnya, untuk cacing atau protozoa usus maka bahan yang akan di
periksa adalah tinja atau feses, sedangkan parasit darah dan jaringan dengan
cara biopsi, kerokan kulit maupun imunologis (Kadarsan, 1983).
VI.
Prosedur pemeriksaan
1. Pra analitik
Alat
dan Bahan
A. Alat yang digunakan
1)
Batang
pengaduk
2)
Gelas
piala 250 ml
3)
Mikroskop
4)
Objek
glass
5)
Pipet
tetes
6)
Rak
tabung
7)
Sentrifuge
8)
Tabung
sentrifuge
B. Bahan yang digunakan
1)
Aquadest
2)
Larutan
zat warna eosin
3)
Tinja
4)
Tisu
2. Analitik
Prosedur
kerja
1)
Buatlah
larutan emulsi tinja dengan menggunakan aquadest didalam gelas piala volume 100 cc, homogenkan
2)
Pipet
larutan emulsi tinja ke dalam tabung sentrifuge sampai 2/3 tabung
3)
Dilakukan
pemusingan dengan alat sentrifuge larutan dengan kecepatan 2000 rpm selama 5
menit
4)
Kemudian
larutan supernatant dibuang dan endapan ditambahkan aquadest, homogenkan
5)
Dilakuakan
pemusingan seperti cara diatas
6)
Pencucian
dilakukan sampai larutan supernatant kelihatan jernih lalu dibuang
7)
Endapan
atau sendimen yang tersisa, dipipet dan diletakkan diatas objek glass yang
bersih dan kering
8)
Ditambahkan
zat warna dan emulsikan diatas objek glass bersama dengan endapan tinja
tersebut
9)
Diperiksa
dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10
3. Pasca analitik
A. Interpretasi hasil makroskopis dan mikroskopis
A.
Makroskopis
·
Bau
: Khas
·
Warna
: Kuning kecoklatan
·
Konsistensi
: Cair
·
Lendir
: Tidak ada
·
Darah
: Tidak ada
B.
Mikroskopis
·
Telur
: +
·
Larva : -
·
Eritrosit : -
·
Leukosit : -
·
Sel
epitel : -
·
Serat
makanan : -
·
Gelembung
udara : +
·
Rambut
tumbuhan : +
B. Hasil pengamatan makroskopis dan mikroskopis
gambar
VII.
Pembahasan
a.
Makroskopis
1. Bau
Indol, skatol dan asam butirat menyebabkan bau normal pada tinja.
Bau busuk didapatkan jika dalam usus terjadi pembusukan protein yang tidak
dicerna dan dirombak oleh kuman. Reaksi tinja menjadi lindi oleh pembusukan
semacam itu. Tinja yang berbau tengik atau asam disebabkan oleh peragian gula
yang tidak dicerna seperti pada diare. Reaksi tinja pada keadaan itu menjadi
asam
2. Warna
Tinja normal kuning coklat dan warna ini dapat berubah mejadi lebih tua
dengan terbentuknya urobilin lebih banyak. Selain urobilin warna tinja dipengaruhi
oleh berbagai jenis makanan, kelainan dalam saluran pencernaan dan obat yang
dimakan. Warna kuning dapat disebabkan karena susu,jagung, lemak dan obat
santonin. Tinja yang berwarna hijau dapat disebabkan oleh sayuran yang mengandung
khlorofil atau pada bayi yang baru lahir disebabkan oleh biliverdin dan
porphyrin dalam mekonium.3,4 Kelabu mungkin disebabkan karena tidak
ada urobilinogen dalam saluran pencernaan yang didapat pada ikterus obstruktif,
tinja tersebut disebut akholis. Keadaan tersebut mungkin didapat pada
defisiensi enzim pankreas seperti pada steatorrhoe yang menyebabkan makanan
mengandung banyak lemak yang tidak dapat dicerna dan juga setelah pemberian
garam barium setelah pemeriksaan radiologik. Tinja yang berwarna merah muda dapat disebabkan oleh perdarahan
yang segar dibagian distal, mungkin pula oleh makanan seperti bit atau tomat.
Warna coklat mungkin disebabkan adanya perdarahan dibagian proksimal saluran pencernaan atau karena makanan seperti coklat, kopi dan lain-lain. Warna coklat
tua disebabkan urobilin yang berlebihan seperti pada anemia hemolitik.
Sedangkan warna hitam dapat disebabkan obat yang yang mengandung besi, arang
atau bismuth dan mungkin juga oleh melena
3. Konsistensi
Tinja normal mempunyai konsistensi agak lunak dan bebentuk. Pada
diare konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya tinja
yang keras atau skibala didapatkan pada konstipasi. Peragian karbohidrat dalam
usus menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas
b. Mikroskopis
1. Telur cacing
Telur cacing yang mungkin didapat yaitu Ascaris lumbricoides, Necator
americanus, Enterobius vermicularis, Trichuris trichiura, Strongyloides
stercoralis dan sebagainya.
2. Eritrosit
Eritrosit hanya terlihat
bila terdapat lesi dalam kolon, rektum atau anus. Sedangkan bila lokalisasi
lebih proksimal eritrosit telah hancur. Adanya eritrosit dalam tinja selalu
berarti abnormal.
3. Leukosit
Dalam keadaan normal dapat terlihat beberapa leukosit dalam seluruh
sediaan. Pada disentri basiler, kolitis ulserosa dan peradangan didapatkan
peningkatan jumlah leukosit.2,3Eosinofil mungkin ditemukan pada
bagian tinja yang berlendir pada penderita dengan alergi saluran pencenaan.
4. Epitel
Dalam keadaan normal dapat ditemukan beberapa sel epite lyaitu yang berasal
dari dinding usus bagian distal. Sel epitelyang berasal dari bagian proksimal
jarang terlihat karena sel inibiasanya telah rusak. Jumlah sel epitel bertambah
banyak kalau ada perangsangan atau peradangan dinding usus bagian distal
9. Fungsi
larutan warna
a) Pewarnaan
dengan eosin digunakan untuk menberikan warna pada telur sehingga mudah
membedakan telur dengan benda – benda lain. Eosin adalah larutan warna yang
memberikan warna merah pada sediaan.
b) Pewarnaan
dengan lugol digunakan untuk melihat sisa makanan yang berasal dari bahan bahan
karbohidrat yang memberikan warna biru pada sediaan
c) Pewarnaan
dengan sudan III digunakan untuk mendeteksi adanya sisa makanan dari bahan
lemak yang akan menghasilkan warna merah orange (jingga)
Pada
praktikum kali ini pemeriksaan telur cacing nematoda usus pada sampel tinja
menggunakan metode seimentasi. Metode sedimentasi mempunyai prinsip pemeriksaan
yaitu sampel diendapkan melalui proses sentrifufasi kemudian diperiksa dibawah
mikroskop dengan pembesaran 10 x 10. Metode sedimentasi ini membutuhkan alat
sentrifuge untuk mengendapkan telur cacing ke dasar tabung maupun partikel –
partikel lainnya yang terdapat dalam sampel feses.
Adapun
kelebihan dan kekurangan dari pemeriksaan telur cacing cara sedimentasi
dibandingkan dengan cara pengapungan (fluotasi) dan cara langsung adalah cara sedimentasi
lebih sensitif sebab volume tinja yang diperiksa lebih banyak, dengan demikian
hasil negatif dari pemeriksaan langsung bisa menunjukkan hasil positif bila
diperiksa dengan konsentrasi. Meskipun pada sediaan cara sedimentasi terdapat
partikel – partikel tinja, namun semua protozoa, telur dan larva yang ada akan
terdeteksi, telur – telur cacing tetap utuh dan tidak terdistorsi mengendap
didasar tabung. Dan cara ini juga merupakan cara yang lebih kecil
kemungkinannya menjadi subjek kesalahn teknik. Namun jika proses sentrifugasi
tidak dilakukan dengan benar maka kemungkinan besar akan memberikan hasil
negatif palsu sebab partikel – partikel rusak atau tidak mengendap secara utuh
akibat dari kesalahan proses sentrifugasi.
VIII.
Kesimpulan
Setelah dilakukan
identifikasi telur cacing pada sampel tinja, ditemukan telur cacing trichuris
trichiura yang berarti bahwa sampel tersebut terinfeksi nematoda usus.
DAFTAR
PUSTAKA
Gandahusada,S.W.Pribadi
dan D.I. Heryy.2000. Parasitologi Kedokteran.Fakultas kedokteran UI,Jakarta.
Kurt. 1999. Prinsip-Prinsip
Ilmu Penyakit Dalam Volume 2. Penerbit Buku
Kedokteran EGC, jakarta
Kedokteran EGC, jakarta
Noble, R.N.
1961. An Illustrated Laboratory Manual of parasitology. Burgess publishing,
Minnesota.
Kadarsan,S. Binatang Parasit. Lembaga Biologi
Nasional-LIPI, Bogor.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar